Minggu, 27 Desember 2009


Jurnal Internal Auditor dan Dilema Etika

4
1. Latar belakang
Tema tentang independensi dan etika dalam profesi akuntan memiliki
pemahaman yang sangat penting dan mendalam. Sorotan masyarakat terhadap
profesi akuntan sangatlah besar sebagai dampak beberapa skandal perusahaan
besar dunia seperti Enron dan WorldCom yang melibatkan para akuntan (Largay
III, 2002; Verrechia, 2003).
Finn et.al. (1988) dan Bazerman et.al. (1997) menyatakan bahwa akuntan
seringkali dihadapkan pada situasi adanya dilema yang menyebabkan dan
memungkinkan akuntan tidak dapat independen. Akuntan diminta untuk tetap
independen dari klien, tetapi pada saat yang sama kebutuhan mereka tergantung
kepada klien karena fee yang diterimanya, sehingga seringkali akuntan berada
dalam situasi dilematis. Hal ini akan berlanjut jika hasil temuan auditor tidak
sesuai dengan harapan klien, sehingga menimbulkan konflik audit (Tsui, 1996;
Tsui dan Gul, 1996). Konflik audit ini akan berkembang menjadi sebuah dilema
etika ketika auditor diharuskan membuat keputusan yang bertentangan dengan
independensi dan integritasnya dengan imbalan ekonomis yang mungkin terjadi
atau tekanan di sisi lainnya (Windsor dan Askhanasy, 1995). Auditor secara sosial
juga bertanggung jawab kepada masyarakat dan profesinya daripada
mengutamakan kepentingan dan pertimbangan pragmatis pribadi atau kepentingan
ekonomis semata. Situasi seperti hal tersebut di atas sangat sering dihadapi oleh
auditor. Auditor seringkali dihadapkan kepada situasi dilema etika dalam
pengambilan keputusannya (Tsui, 1996; Tsui dan Gul, 1996; Larkin, 2000;
Dillard dan Yuthas, 2002).
Auditing internal adalah sebuah fungsi penilaian independen yang
dijalankan di dalam organisasi untuk menguji dan mengevaluasi sistem
pengendalian internal organisasi. Kualitas auditing internal yang dijalankan akan
berhubungan dengan kompetensi dan obyektivitas dari staf internal auditor
organisasi tersebut (Adams, 1994; Bou-Raad, 2000). Sebagai pekerja, internal
auditor mendapatkan penghasilan dari organisasi di mana dia bekerja, hal ini
berarti internal auditor sangat bergantung kepada organisasinya sebagai pemberi
kerja. Di lain pihak, internal auditor dituntut untuk tetap independen sebagai
bentuk tanggungjawabnya kepada publik dan profesinya (Abdolmohammadi dan
Owhoso, 2000; Windsor; 2002). Di sini konflik audit muncul ketika auditor
internal menjalankan aktivitas auditing internal. Internal auditor sebagai pekerja di
dalam organisasi yang diauditnya akan menjumpai masalah ketika harus
melaporkan temuan-temuan yang mungkin tidak menguntungkan dalam penilaian
kinerja manajemen atau obyek audit yang dilakukannya. Ketika manajemen atau
subyek audit menawarkan sebuah imbalan atau tekanan kepada internal auditor
untuk menghasilkan laporan audit yang diinginkan oleh manajemen maka menjadi
dilema etika. Untuk itu auditor dihadapkan kepada pilihan-pilihan keputusan yang
terkait dengan hal-hal keputusan etis dan tidak etis.
Keputusan etis (ethical decision) per definisi adalah sebuah keputusan yang
baik secara legal maupun moral dapat diterima oleh masyarakat luas (Trevino,
1986; Jones, 1991). Kemampuan dalam mengidentifikasi dan melakukan perilaku
etis atau tidak etis adalah hal yang mendasar dalam profesi akuntan. Internal
auditor juga tidak terlepas dari masalah bagaimana membuat keputusan etis.
Internal auditor sebagai karyawan mempunyai tanggung jawab kepada organisasi.di mana dia bekerja, tetapi sebagai seorang akuntan profesional dia harus
bertanggunjawab kepada profesinya, kepada masyarakat dan dirinya sendiri untuk
berkelakuan etis yang baik. Kemampuan internal auditor untuk membuat
keputusan yang akan diambil ketika menghadapi situasi dilema etika akan sangat
bergantung kepada berbagai hal, karena keputusan yang diambil oleh internal
auditor juga akan banyak berpengaruh kepada organisasi dan konstituen di mana
dia berada (Arnold dan Ponemon, 1991). Internal auditor secara terus menerus
dihadapkan pada situasi dilema etika yang melibatkan pilihan-pilihan antara nilainilai
yang saling bertentangan. Manajemen dapat mempengaruhi proses
pemeriksaan yang dilakukan oleh internal auditor. Manajemen dapat menekan
internal auditor untuk melanggar standar pemeriksaan, tetapi internal auditor juga
terikat kepada etika profesi dan mempunyai tanggungjawab sosial, maka auditor
berada dalam situasi yang dilematis. Memenuhi tuntutan manajemen berarti
melanggar standar dan etika profesi, namun di lain pihak, jika tidak memenuhi
tuntutan tersebut kemungkinan dapat menghasilkan sanksi atas diri internal
auditor.
Faktor determinan penting dalam perilaku pengambilan keputusan etis
adalah faktor-faktor yang secara unik berhubungan dengan individu pembuat
keputusan dan variabel-variabel yang merupakan hasil dari proses sosialisasi dan
pengembangan masing-masing individu (Ford dan Richardson, 1994; Loe et.al.,
2000; Larkin, 2000; Paolillo & Vitell, 2002). Faktor-faktor individual tersebut
meliputi variabel-variabel yang merupakan ciri pembawaan sejak lahir (gender,
umur, kebangsaan dan sebagainya), sedangkan faktor-faktor lainnya adalah faktor
organisasi, lingkungan kerja, profesi dan sebagainya.

2. Perumusan Masalah
Penelitian ini ingin mengembangkan hasil penelitian Zeigenfuss dan
Singhapakdi (1994) serta penelitian Douglas, Davidson dan Schwartz (2001)
tentang internal auditor dalam pengambilan keputusan etis (ethical decision
making). Permasalahan yang hendak diteliti adalah bagaimanakah pengaruh
pengalaman audit, komitmen profesional, orientasi etika dan nilai etika organisasi
terhadap pengambilan keputusan etis internal auditor dalam situasi dilema etika.

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik pengalaman audit,
komitmen profesional, orientasi etika dan nilai etika organisasi berpengaruh
terhadap pengambilan keputusan etis internal auditor dalam situasi dilema etika.
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberikan masukan mengenai
implikasi pengalaman audit, komitmen profesional, orientasi etika dan nilai etika
organisasi terhadap pengambilan keputusan etis internal auditor dalam situasi
dilema etika.

4. Kerangka Teori
4.1 Konflik Audit dan Dilema Etika
Banyak pihak yang berkepentingan di dalam sebuah organisasi bisnis.
Investor yang menanamkan dananya ke dalam perusahaan atau kreditur yang
meminjamkan dananya, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan terhadap
laporan keuangan perusahaan tidak terbatas kepada manajemen saja, tetapi meluas
kepada investor dan kreditor serta calon investor dan calon kreditur. Para pihak
tersebut memerlukan informasi mengenai perusahaan, sehingga seringkali ada duapihak yang berlawanan dalam situasi ini. Di satu pihak, manajemen perusahaan
ingin menyampaikan informasi mengenai pertanggunjawaban pengelolaan dana
yang berasal dari pihak luar, di lain pihak, pihal eksternal ingin memperoleh
informasi yang andal dari manajemen perusahaan. Profesi akuntan timbul untuk
memberikan informasi yang terpercaya bagi kedua belah pihak dalam situasi
seperti ini.
Kode etik yang digunakan oleh para profesional beranjak dari bentuk
pertanggunjawaban profesi kepada masyarakat. Akuntan sebagai sebuah profesi
juga tidak terlepas dari pertanggungjawaban kepada masyarakat. Damman (2003)
menyatakan bahwa sebenarnya akuntan di dalam aktivitas auditnya banyak hal
yang harus dipertimbangkan, karena dalam diri auditor mewakili banyak
kepentingan yang melekat dalam proses audit (built-in conflict of interest).
Seringkali dalam pelaksanaan aktivitas auditing, seorang auditor berada dalam
konflik audit (Tsui, 1996; Tsui dan Gul, 1996).
Konflik dalam sebuah audit akan berkembang pada saat auditor
mengungkapkan informasi tetapi informasi tersebut oleh klien tidak ingin
dipublikasikan kepada umum. Konflik ini akan menjadi sebuah dilema etika
ketika auditor diharuskan membuat keputusan yang menyangkut independensi dan
integritasnya dengan imbalan ekonomis yang mungkin terjadi di sisi lainnya
(Windsor dan Askhanasy, 1995). Karena auditor seharusnya secara sosial juga
bertanggung jawab kepada masyarakat dan profesinya daripada mengutamakan
kepentingan dan pertimbangan pragmatis pribadi atau kepentingan ekonomis
semata, sehingga seringkali auditor dihadapkan kepada masalah dilema etika
dalam pengambilan keputusannya.
Situasi dilema menurut Gunz, Gunz dan McCutcheon (2002) adalah
“situations in which professional must choose between two or more
relevant, but contradictory, ethical directives, or when every alternative
results in an undesirable outcome for one or more persons”
Dilema etika muncul sebagai konsekuensi konflik audit karena auditor
berada dalam situasi pengambilan keputusan yang terkait dengan keputusannya
yang etis atau tidak etis. Situasi tersebut terbentuk karena dalam konflik audit ada
pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keputusan auditor sehingga auditor
daihadapkan kepada pilihan keputusan etis dan tidak etis.
4.2 Pengambilan Keputusan Etis (Ethical Decision Making)
Keputusan etis (ethical decision) per definisi adalah sebuah keputusan yang
baik secara legal maupun moral dapat diterima oleh masyarakat luas (Trevino,
1986; Jones, 1991). Beberapa review tentang penelitian etika (Ford dan
Richardson, 1994; Louwers, Ponemon dan Radtke, 1997; Loe et.al., 2000;
Paolillo & Vitell, 2002) mengungkapkan beberapa penelitian empirik tentang
pengambilan keputusan etis. Mereka menyatakan bahwa salah satu determinan
penting perilaku pengambilan keputusan etis adalah faktor-faktor yang secara unik
berhubungan dengan individu pembuat keputusan dan variabel-variabel yang
merupakan hasil dari proses sosialisasi dan pengembangan masing-masing
individu. Faktor-faktor individual tersebut meliputi variabel-variabel yang
merupakan ciri pembawaan sejak lahir (gender, umur, kebangsaan dan
sebagainya). Sedangkan faktor-faktor lainnya adalah faktor organisasi, lingkungan
kerja, profesi dan sebagainya.
Penelitian tentang pengambilan keputusan etis, telah banyak dilakukan
dengan berbagai pendekatan mulai dari psikologi sosial dan ekonomi. Beranjak dari berbagai hasil penelitian tersebut kemudian dikembangkan dalam paradigma
ilmu akuntansi. Louwers, Ponemon dan Radtke (1997) menyatakan pentingnya
penelitian tentang pengambilan keputusan etis dari pemikiran dan perkembangan
moral (moral reasoning and development) untuk profesi akuntan dengan 3 alasan,
yaitu pertama, penelitian dengan topik ini dapat digunakan untuk memahami
tingkat kesadaran dan perkembangan moral auditor dan akan menambah
pemahaman tentang bagaimana perilaku auditor dalam menghadapi konflik etika.
Kedua, penelitian dalam wilayah ini akan lebih menjelaskan problematika proses
yang terjadi dalam menghadapi berbagai pengambilan keputusan etis auditor yang
berbeda-beda dalam situasi dilema etika. Ketiga, hasil penelitian ini akan dapat
membawa dan menjadi arahan dalam tema etika dan dampaknya pada profesi
akuntan.
Beberapa model penelitian etis seringkali hanya mendeskripsikan
bagaimana proses seseorang mengambil keputusan yang terkait dengan etika
dalam situasi dilema etika (Jones, 1991; Trevino, 1986). Sebuah model
pengambilan etis tidak berada kepada pemahaman bagaimana seharusnya
seseorang membuat keputusan etis (ought to do), namun lebih kepada pengertian
bagaimana proses pengambilan keputusan etis itu sendiri. Alasannya adalah
sebuah pengambilan keputusan akan memungkinkan menghasilkan keputusan
yang etis dan keputusan yang tidak etis, dan memberikan label atau
mendefinisikan apakah suatu keputusan tersebut etis atau tidak etis akan mungkin
sangat menyesatkan (McMahon, 2002).
Rest (dalam dalam Zeigenfuss dan Martison, 2002) menyatakan bahwa
model pengambilan keputusan etis terdiri dari 4 (empat tahapan), yaitu pertama
pemahaman tentang adanya isu moral dalam sebuah dilema etika (recognizing
that moral issue exists). Dalam tahapan ini menggambarkan bagaimana tanggapan
seseorang terhadap isu moral dalam sebuah dilema etika. Kedua adalah
pengambilan keputusan etis (make a moral judgment), yaitu bagaimana seseorang
membuat keputusan etis. Ketiga adalah moral intention yaitu bagaimana
seseorang bertujuan atau bermaksud untuk berkelakuan etis atau tidak etis.
Sedangkan keempat adalah moral behavior, yaitu bagaimana seseorang bertindak
atau berperilaku etis atau tidak etis.
Jones (1991) menyatakan ada 3 unsur utama dalam pengambilan keputusan
etis, yaitu pertama, moral issue, menyatakan seberapa jauh ketika seseorang
melakukan tindakan, jika dia secara bebas melakukan tindakan itu, maka akan
mengakibatkan kerugian (harm) atau keuntungan (benefit) bagi orang lain. Dalam
bahasa yang lain adalah bahwa suatu tindakan atau keputusan yang diambil akan
mempunyai konsekuensi kepada orang lain. Kedua adalah moral agent, yaitu
seseorang yang membuat keputusan moral (moral decision). Ketiga adalah
keputusan etis (ethical decision) itu sendiri, yaitu sebuah keputusan yang secara
legal dan moral dapat diterima oleh masyarakat luas (Jones, 1991)
Perkembangan penalaran moral (cognitive moral development), sering
disebut juga kesadaran moral (moral reasoning, moral judgment, moral thinking),
merupakan faktor penentu yang melahirkan perilaku moral dalam pengambilan
keputusan etis, sehingga untuk menemukan perilaku moral yang sebenarnya
hanya dapat ditelusuri melalui penalarannya. Artinya, pengukuran moral yang
benar tidak sekedar mengamati perilaku moral yang tampak, tetapi harus melihat
pada kesadaran moral yang mendasari keputusan perilaku moral tersebut. Dengan mengukur tingkat kesadaran moral akan dapat mengetahui tinggi rendahnya moral
tersebut (Jones, 1991).
Trevino (1986) menyusun sebuah model pengambilan keputusan etis
dengan menyatakan bahwa keputusan etis adalah merupakan sebuah interaksi
antara faktor individu dengan faktor situasional (person-situation interactionist
model). Dia menyatakan bahwa pengambilan keputusan etis seseorang akan
sangat tergantung kepada faktor-faktor individu (individual moderators) seperti
ego strength, field dependence, and locus of control dan faktor situasional seperti
immediate job context, organizational culture, and characteristics of the work.
Model yang diajukan Trevino (1986) dapat jelaskan yaitu, ketika seseorang
dihadapkan pada sebuah dilema etika maka individu tersebut akan
mempertimbangkannya secara kognitif dalam benaknya. Hal ini searah dengan
pernyataan Jones (1991) tentang moral issue yang ada dalam dilema etika tersebut
bahwa kesadaran kognitif moral seseorang akan sangat tergantung kepada level
perkembangan moral menurut Kohlberg (dalam Arnold dan Sutton, 1997).
Pembentukan pemahaman tentang moral issue tersebut akan tergantung kepada
faktor individual (pengalaman, orientasi etika dan komitmen kepada profesi) dan
faktor situasional (nilai etika organisasi).
Berdasarkan model dari Trevino (1986) tersebut maka dalam penelitian ini
akan diuji sebuah person-situation interactionist model untuk internal auditor.
Faktor yang dapat dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan etis internal
auditor ketika menghadapi dilema etika adalah faktor individual yaitu
pengalaman, komitmen profesional serta orientasi etika auditor dan faktor
situasional yaitu nilai etika organisasi.
Sasongko Budi | www.theAkuntan.Com | halaman 11
4.3 Pengalaman Kerja Auditor
Pengalaman kerja telah dipandang sebagai suatu faktor penting dalam
memprediksi kinerja auditor (Sularso dan Na’im, 1999; Bonner, 1990; Davis,
1997; Jeffrey, 1992). Pengalaman auditor akan semakin berkembang dengan
bertambahnya pengalaman audit, diskusi mengenai audit dengan rekan sekerja,
pengawasan dan review oleh akuntan senior, mengikuti program pelatihan dan
penggunaan standar auditing.
Kidwell, Stevens dan Bethke (1987) melakukan penelitian tentang perilaku
manajer dalam menghadapi situasi dilema etika, hasil penelitiannya adalah bahwa
manajer dengan pengalaman kerja yang lebih lama mempunyai hubungan yang
positif dengan pengambilan keputusan etis. Hasil penelitian ini juga didukung
oleh penelitian Larkin (2000) dan Glover et.al. (2002). Larkin (2000) melakukan
penelitian yang melibatkan internal auditor di lembaga keuangan dan menyatakan
bahwa internal auditor yang berpengalaman cenderung lebih konservatif dalam
menghadapi situasi dilema etika. Glover et.al. (2002) melakukan penelitian pada
beberapa mahasiswa program bisnis dan menyatakan bahwa mahasiswa yang
senior lebih berperilaku etis dibandingkan dengan yang lebih yunior.
Kalbers dan Fogarty (1995) dalam penelitiannya tentang internal auditor
menyatakan ada hubungan antara pengalaman kerja dengan profesionalisme dan
afiliasi terhadap komunitasnya (community affiliation). Meskipun hasil penelitian
tersebut hanya menunjukkan bukti yang terbatas, alasan ini dimungkinkan karena
untuk menguatkan komitmen profesional seorang auditor perlu waktu dalam
keterlibatannya untuk menjadi bagian dan menerima manfaat sebagai bagian dari
sebuah komunitas profesinya.
4.4 Komitmen Profesional
Komitmen profesional diartikan sebagai intensitas identifikasi dan
keterlibatan individu dengan profesinya. Identifikasi ini membutuhkan beberapa
tingkat kesepakatan antara individu dengan tujuan dan nilai-nilai yang ada dalam
profesi termasuk nilai moral dan etika. Definisi komitmen profesional banyak
digunakan dalam literatur akuntansi adalah sebagai: 1) suatu keyakinan dan
penerimaan tujuan dan nilai-nilai di dalam organisasi profesi 2) kemauan untuk
memainkan peran tertentu atas nama organisasi profesi 3) gairah untuk
mempertahankan keanggotaan pada organisasi profesi (Jeffrey dan Weatherholt,
1996).
Jeffrey dan Weatherholt (1996) menguji hubungan antara komitmen
profesional, pemahaman etika dan sikap ketaatan terhadap aturan. Hasilnya
menunjukkan bahwa akuntan dengan komitmen profesional yang kuat maka
perilakunya lebih mengarah kepada ketaatan terhadap aturan dibandingkan
dengan akuntan dengan komitmen profesional yang rendah. Namun riset ini
belum menunjukkan bagaimana komitmen profesi dan orientasi etika
berhubungan dengan perilaku akuntan dalam situsai dilema etika. Khomsiyah dan
Indriantoro (1998) mengungkapkan juga bahwa komitmen profesional
mempengaruhi sensitivitas etika auditor pemerintah yang menjadi sampel
penelitiannya. Windsor dan Ashkanasy (1995) mengungkapkan bahwa asimilasi
keyakinan dan nilai organisasi yang merupakan definisi komitmen profesi
mempengaruhi integritas dan independensi auditor.
4.5 Orientasi Etika
Sasongko Budi | www.theAkuntan.Com | halaman 13
Orientasi etika (ethical orientation atau ethical ideology) berarti mengenai
konsep diri dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan individu dalam diri
seseorang. Cohen et. al. (1995 dan 1996) dan Finegan (1994) menyatakan bahwa
setiap orientasi etika individu, pertama-tama ditentukan oleh kebutuhannya.
Kebutuhan tersebut berinteraksi dengan pengalaman pribadi dan sistem nilai
individu yang akan menentukan harapan atau tujuan dalam setiap perilakunya
sehingga pada akhirnya individu tersebut menentukan tindakan apa yang akan
diambilnya.
Orientasi Etika menurut Forsyth (dalam Barnett, Bass dan Brown, 1994)
dioperasionalisasikan sebagai kemampuan individu untuk mengevaluasi dan
mempertimbangkan nilai etika dalam suatu kejadian. Orientasi etika menunjukkan
pandangan yang diadopsi oleh masing-masing individu ketika menghadapi situasi
masalah yang membutuhkan pemecahan dan penyelesaian etika atau dilema etika.
Kategori orientasi etika yang dibangun oleh Forsyth (1992) menyatakan
bahwa manusia terdiri dari dua konsep yaitu idealisme versus pragmatisme, dan
relativisme versus nonrelativisme yang ortogonal dan bersama-sama menjadi
sebuah ukuran dari orientasi etika individu.
Idealisme menunjukkan keyakinan bahwa konsekuensi sebuah keputusan
yang diinginkan dapat diperoleh tanpa melanggar nilai-nilai luhur moralitas.
Dimensi ini dideskripsikan sebagai sikap individu terhadap suatu tindakan dan
bagaimana tindakan itu berakibat kepada orang lain. Individu dengan idealisme
yang tinggi percaya bahwa tindakan yang etis seharusnya mempunyai
konsekuensi yang positif dan selalu tidak akan berdampak atau berakibat
merugikan kepada orang lain sekecil apapun (Barnett, Bass dan Brown, 1994). Dilain pihak, pragmatisme mengakui hasil keputusan adalah yang utama dan jika
perlu mengabaikan nilai-nilai moralitas untuk mendapatkan keuntungan yang
lebih besar. Dalam kaitan dengan ini maka internal auditor yang mempunyai
idealisme yang tinggi akan selalu bekerja dengan cermat dan profesional dan ini
berarti internal auditor dengan orientasi etika yang idealis akan berperilaku lebih
etis dalam menghadapi dilema etika.
Konsep relativisme menunjukkan perilaku penolakan terhadap kemutlakan
aturan-aturan moral yang mengatur perilaku individu yang ada. Orientasi etika ini
mengkritik penerapan prinsip-prinsip aturan moral yang universal. Relativisme
menyatakan bahwa tidak ada sudut pandang suatu etika yang dapat diidentifikasi
secara jelas merupakan ‘yang terbaik’, karena setiap individu mempunyai sudut
pandang tentang etika dengan sangat beragam dan luas. Kebalikannya, orientasi
etika non-relativisme (atau absolutisme) menunjukkan pengakuan adanya prinsipprinsip
moral dengan kewajiban-kewajiban yang mutlak.
Shaub, Finn dan Munter (1993) dalam penelitiannya tentang sensitivitas
etika auditor, meneliti hubungan orientasi etika auditor dengan komitmen
profesional auditor. Mereka menyatakan bahwa individu yang mempunyai
idealisme secara otomatis akan memelihara tatacara pekerjaannya sesuai dengan
standar profesional, sehingga standar profesional tersebut akan menjadi arahan
dalam bekerja. Hal ini akan searah dengan konsep non-relativisme yang
menyatakan tingkat absolutisme yang tinggi. Tujuan utama akuntan sebagai
sebuah profesi audit adalah juga termasuk menghindari kerugian yang diterima
oleh pengguna laporan keuangan, sehingga seorang auditor yang memiliki
orientasi etika idealis akan selalu merujuk kepada tujuan dan arahan yang ada
pada standar profesionalnya.
Ziegenfuss dan Singhapakdi (1994) melakukan penelitian tentang persepsi
etis dan nilai-nilai individu terhadap anggota Institute of Internal Auditor. Mereka
menyatakan bahwa orientasi etika internal auditor mempunyai hubungan positif
dengan perilaku pengambilan keputusan etis. Internal auditor dengan skor
idealisme yang tinggi akan cenderung membuat keputusan yang secara absolut
lebih bermoral (favor moral absolute) dan sebaliknya.
4.6 Nilai Etika Organisasi
Nilai etika organisasi (corporate ethical value) adalah sebuah sistem nilainilai
etis yang ada di dalam organisasi. Sistem nilai ini dihasilkan dari proses
akulturisasi dari berbagai nilai-nilai yang ada, baik yang berasal dari di dalam
maupun dari luar organisasi. Nilai etika organisasi, atau lebih spesifik, lingkungan
etika di dalam organisasi, terbuat dari berbagai praktek yang dijalankan oleh
manajemen beserta nilai-nilai yang menyertainya (espoused values). Nilai etika
organisasi sebagai komponen utama kultur organisasi merupakan acuan yang
mangarahkan anggota-anggota organisasi dalam menghadapi lingkungan internal
maupun eksternalnya yang terbentuk dari nilai-nilai etika individual dari
manajemen baik formal maupun informal terhadap situasi etika di dalam
organisasi (Hunt et.al., 1989).
Nilai etika organisasi dapat digunakan untuk menetapkan dan sebagai
patokan dalam menggambarkan apa-apa yang dikerjakan merupakan hal yang
‘baik’ atau ‘etis’ dan hal yang ‘tidak baik’ atau ‘tidak etis’ dalam organisasi. Hunt
et.al. (1989) juga menyatakan bahwa nilai etika organisasi adalah sebuah derajat pemahaman organisasi tentang bagaimana organisasi bersikap dan bertindak
dalam menghadapi isu-isu etika. Hal ini meliputi tingkat persepsi 1) bagaimana
para pekerja menilai manajemen dalam bertindak menghadapi isu etika di dalam
organisasinya 2) bagaimana para pekerja menilai bahwa manajemen memberi
perhatian terhadap isu-isu etika di dalam organisasinya dan 3) bagaimana para
pekerja menilai bahwa perilaku etis (atau tidak etis) akan diberikan imbalan
(hukuman) di dalam organisasinya. Douglas, Davidson dan Schwartz (2001)
menyatakan bahwa nilai etika organisasi mempunyai hubungan yang positif
dengan nilai kepribadian individu.

5. Model dan Hipotesis Penelitian
Konflik audit muncul ketika auditor internal menjalankan aktivitas auditing
internal. Internal auditor sebagai pekerja di dalam organisasi yang diauditnya akan
menjumpai masalah ketika harus melaporkan temuan-temuan yang mungkin tidak
menguntungkan dalam penilaian kinerja manajemen atau obyek audit yang
dilakukannya. Konflik terjadi ketika auditor dan auditee tidak sepakat terhadap
beberapa aspek fungsi dan tujuan pemeriksaan. Dalam keadaan ini, auditee dapat
mempengaruhi proses audit yang dilakukan oleh auditor internal. Auditee dapat
menekan auditor internal untuk melakukan tindakan yang melanggar standar
pemeriksaan. Untuk itu auditor dihadapkan kepada pilihan-pilihan keputusan yang
saling berlawanan terkait dengan aktivitas pemeriksaannya. Karena auditor secara
profesional dilandasi oleh kode etik profesi dan standar pemeriksaan, maka
auditor berada dalam sebuah dilema etika. Memenuhi tuntutan auditee berarti
melanggar standar pemeriksaan dan kemungkinan mendapatkan imbalan manfaat,
namun dengan tidak memenuhi tuntutan auditee akan mendapatkan tekanan, baik
berupa penghentian penugasan, pemecatan dan kemungkinan sanksi lainnya.
Internal auditor dihadapkan kepada pilihan pengambilan keputusan etis atau tidak
etis.
Keputusan etis (ethical decision) per definisi adalah sebuah keputusan yang
baik secara legal maupun moral dapat diterima oleh masyarakat luas (Trevino,
1986; Jones, 1991). Dengan mengadaptasi model yang diajukan oleh Trevino
(1986), maka proses pengambilan etis dalam situasi dilema etika yang dialami
oleh auditor internal.Model Konseptual
Konflik
Audit
Situasi
DilemaEtika
Pengambilan
Keputusan
Etis
Faktor Situasional
Nilai EtikaOrganisasi
Faktor Individual
PengalamanKerja
Orientasi Etika
Komitmen Professional
Konflik audit kemungkinan akan berkembang menjadi sebuah dilema
etika ketika internal auditor diharuskan melakukan pilihan-pilihan pengambilan
keputusan etis dan tidak etis. Dalam proses tersebut faktor determinan penting
dalam perilaku pengambilan keputusan etis adalah faktor-faktor yang secara unik
berhubungan dengan individu pembuat keputusan dan variabel-variabel yang
merupakan hasil dari proses sosialisasi dan pengembangan masing-masing
individu, yaitu pengalaman, orientasi etika dan komitmen profesional serta faktor
situasional yaitu nilai etika organisasi.
Dari kerangka teori dan model konseptual di atas maka dibuat model dan
hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut pada
Gambar 2
Model dan Hipotesis Penelitian
Nilai Etika
Organisasi
Orientasi Etika
Komitmen
Profesional
Pengalaman
Kerja
Pengambilan
Keputusan Etis
H1
H2
H3
H4
H5
Shaub, Finn & Munter (1993)
Jeffrey & Weatherholt (1996)
Douglas, Davidson & Schwartz (2001)
Zeigenfuss & Singhapakdi (1994)
Windsor & Ashkanasy (1995)
Khomsiyah & Nurindriantoro (1998)
Golver et.al. (2002)
Larkin (2000)
Kidwell, Stevens & Bethke (1987)
Kalbers dan Fogarty (1995) H6
Sedangkan hipotesis dari masing-masing kausalitas dalam model yang akan
diuji dideskripsikan sebagai berikut:
H1 : Nilai etika organisasi mempunyai pengaruh yang positif terhadap orientasi
etika internal auditor.
H2: Orientasi etika internal auditor mempunyai pengaruh yang positif terhadap
pengambilan keputusan etis internal auditor
H3: Orientasi etika internal auditor mempunyai pengaruh yang positif terhadap
komitmen profesional internal auditor
H4: Komitmen profesional internal auditor mempunyai pengaruh yang positif
terhadap pengambilan keputusan etis internal auditor
H5: Pengalaman kerja internal auditor mempunyai pengaruh yang positif
terhadap pengambilan keputusan etis internal auditor.
H6: Pengalaman kerja internal auditor mempunyai pengaruh yang positif terhadap komitmen profesional internal auditor.

6. Kesimpulan
Berdasarkan pembuktian empiris terhadap model konseptual yang disusun
di awal penelitian maka dapat diberikan kesimpulan umum bahwa nilai etika
organisasi, orientasi etika dan komitmen profesional secara individu maupun
simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengambilan keputusan
etis internal auditor dalam situasi dilema etika. Nilai etika organisasi sebagai
faktor situasional individu mempunyai pengaruh yang dignifikan terhadap
orientasi etika internal auditor. Orientasi etika auditor mempunyai pengaruh yang
positif terhadap komitmen profesi, dan kemudian secara bersama-sama keduanya
mempunyai hubungan positif dengan pengambilan keputusan etis internal auditor
dalam situasi dilema etika. Dalam penelitian ini tidak ditemukan pengaruh
pengalaman kerja dalm hubungannya dengan komitnen profesional maupun
pengambilan keputusan etis.